Kamis, 29 Mei 2014
Assessing the Effectiveness and the Impacts of LePMIL works in facilitating a conflict resolution and advocating a new policy in Nipa-Nipa and Nanga-Nanga Forest Management
Abstract
The paper is a case study of a conflict resolution and policy advocacy initiative by LePMIL – The Institution for Coastal and Hinterland Community Development, an NGO in Southeast Sulawesi, Indonesia. The paper seeks to answer two types of questions: (1) How effective was LePMIL’s multi-stakeholder approach for resolving conflict and creating a new management policy for the two forest reserves? What are the outcomes and impacts of the initiative? (2) What general lessons about advocacy can be learned from the experience? The paper examines extensive data obtained through participant observation, surveys and interviews through the lens of two frameworks. One is a framework that I synthesized from the work of J. Schultz and is used to look at the effectiveness of the advocacy by assessing several key issues, including the objectives, targets, messages, messengers, and strategies. The second is a rights based development framework developed by M.A. Brocklesby and S. Crawford and is used to measure the outcomes and the impacts of this advocacy initiative by looking at voice, participation and accountability; transformation of power relationships and linkages; institutional response; and some other areas. In its examination of lessons to be learned, the paper identifies six principles, each of which carries specific implications for good and effective advocacy work. They include that advocacy and related reform programs have been less effective when they have not taken enough account of the local political circumstances; that the advocacy should be more focused on ideas and/or voices that could connect various stakeholders; and that it is best to start from something easy, and then move to the challenging.
Disciplines
Peace and Conflict Studies | Public Affairs, Public Policy and Public Administration | Public Policy
Recommended Citation
Wiyono, Agung, "Assessing the Effectiveness and the Impacts of LePMIL works in facilitating a conflict resolution and advocating a new policy in Nipa-Nipa and Nanga-Nanga Forest Management" (2007). Capstone Collection. Paper 490.
http://digitalcollections.sit.edu/capstones/490
view detail
Artikel : LePMIL (Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir & Pedalaman)
Kilas Balik kerjasama LePMIL dan Assesment The Australian Youth Ambassadors for Development (AYAD)
The Institution for Coastal and Hinterland Community Development (LePMIL) was founded in 1997 by social activists and scholars. LePMIL was established driven by concerns that coastal and rural communities belong to the most vulnerable and are affected by underdevelopment in education, health, the economy and politics. LePMIL focuses on coastal and inland areas in regions of the Southeast Sulawesi province where the exploitation of natural resources continues to occur and has resulted in deforestation and environmental degradation that threatens livelihoods.
LePMIL, in accordance with its mandate, is made up of mediators and facilitators. They are focused on increasing the capacity of community organisations in coastal and inland regions through research, education and training which is expected to increase the capacity of communities to access development policy. LePMIL’s advocacy focus is on natural resource management, indigenous rights, women’s rights, the right to live healthily, mitigation of disaster and climate change, and good governance. read more...
Artikel : LePMIL
LePMIL, in accordance with its mandate, is made up of mediators and facilitators. They are focused on increasing the capacity of community organisations in coastal and inland regions through research, education and training which is expected to increase the capacity of communities to access development policy. LePMIL’s advocacy focus is on natural resource management, indigenous rights, women’s rights, the right to live healthily, mitigation of disaster and climate change, and good governance. read more...
Artikel : LePMIL
Indikator Gender dan tata kelola sumber daya alam Kebutuhan untuk menilai dan membahas topik-topik 'sensitif dan tabu'
Gender and governance or management are topics that have been inadequately addressed by researchers, with resulting very slow progress towards gender equity globally. A collaborative landscape management project in South and Southeast Sulawesi (Indonesia) has been trying to strength
en women's voices in local management and governance and to encourage more equitable benefit distribution throughout the landscape. The need for a simple assessment of the project's success presented an opportunity for us to develop a set of indicators that we believe can be adapted and used more widely. Our indicators, presented below, differ from other indicator sets available, most fundamentally in their foci on (1) gender and governance/forest management, (2) a combination of production and other more sensitive issues central to women's lives, and (3) intra-household decision-making.
Rabu, 28 Mei 2014
Struktur LePMIL
Dewan Pendiri/Pengawas :
Ir. Anas Nikoyan, M.Si
Haris Palisuri, SE
Ir. Yani Taufiq, M.Si
Achmadi Wardus, SP
Patrick Passasung, SP Minggu, 25 Mei 2014
LSM: Dana Bagi Hasil Tambang di Sultra Bocor Rp 15,6 Miliar
KENDARI, KOMPAS.com - Dana bagi hasil (DBH) dari iuran tetap (land rent) pada sektor pertambangan di Sulawesi Tenggara, diduga mengalami kebocoran sebesar Rp 15, 6 miliar selama tahun 2012. Hal itu terungkap dalam hasil simulasi perhitungan DBH dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (Lepmil) Sulawesi Tenggara (Sultra) bekerja sama dengan Publish What You Pay Indonesia.
Menurut Direktur Lepmil Sultra, Yasril, data tersebut merupakan hasil selisih antara potensi DBH dengan realisasi DBH dari sepuluh kabupaten di Sulawesi Tenggara. Kekurangan pembayaran iuran tetap juga mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan dana bagi hasil, yang seharusnya menjadi sumber penerimaan bagi sepuluh kabupaten penghasil tambang di Sultra. Potensi kurangnya DBH tersebut mencapai Rp 12,5 miliar selama tahun 2012.
"Perhitungan yang kami lakukan menemukan potensi DBH Sultra dari iuran tetap sebesar Rp 18,6 miliar, tetapi realisasi pembayaran hanya sebesar Rp 6,17 miliar. Sehingga ditemukan adanya indikasi kebocoran senilai Rp 12,5 miliar," kata Yasril, Jumat (6/12/2013).
Ia menjelaskan, perhitungan tersebut diperoleh dari data jumlah IUP beserta luas wilayah izin yang dikeluarkan oleh 10 kabupaten dikali dengan tarif iuran tetap/dead rent/land rent yang harus dibayar berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam PP Nomor 9 tahun 2012 tentang penerimaan bukan pajak di sektor ESDM.
"IUP yang ada tersebut tersebar di Kabupaten Buton, Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Muna, Bombana, Buton Utara, dan Kota Baubau. Dua daerah tidak memiliki IUP adalah Kabupaten Wakatobi dan Kota Kendari," katanya.
Dijelaskan Yasril, potensi kebocoran lebih besar lagi diduga berasal dari pembayaran royalti yang dihitung berdasarkan jumlah produksi bahan tambang di Sultra. “Itu baru perhitungan dari land rent, belum ditambah lagi pembayaran royalti, sebagian besar hasil tambang berupa nikel, emas, aspal dan sebagian kecil kromit, mangan, serta oniks dan batu besi,” ujarnya.
Menyikapi kondisi tersebut, Lepmil dan Publish What You Pay Indonesia merekomendasikan pemerintah daerah membuka kepada publik data-data perusahaan yang belum membayar pajak dan PNPB pertambangan; menegakkan hukum atau menagih perusahaan yang belum bayar pajak; memberikan akses informasi kepada publik dan melakukan pengawasan atas kegiatan pertambangan.
Sementara data dari kantor Bea Cukai Kendari mencatat baru ada 36 eksportir. Namun, hanya 20 sampai 25 perusahaan yang aktif menggunakan surat perintah ekspor di kantor Bea Cukai, padahal di Sultra ada sekitar 500 izin usaha pertambangan (IUP).
Untuk diketahui, banyak perusahaan tambang di Sultra yang melakukan pengapalan dengan menggunakan pelabuhan yang dibangun sendiri, sehingga hasil produksi tidak tercatat secara resmi di kantor bea cukai.
Artikel : LePMIL
Menurut Direktur Lepmil Sultra, Yasril, data tersebut merupakan hasil selisih antara potensi DBH dengan realisasi DBH dari sepuluh kabupaten di Sulawesi Tenggara. Kekurangan pembayaran iuran tetap juga mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan dana bagi hasil, yang seharusnya menjadi sumber penerimaan bagi sepuluh kabupaten penghasil tambang di Sultra. Potensi kurangnya DBH tersebut mencapai Rp 12,5 miliar selama tahun 2012.
"Perhitungan yang kami lakukan menemukan potensi DBH Sultra dari iuran tetap sebesar Rp 18,6 miliar, tetapi realisasi pembayaran hanya sebesar Rp 6,17 miliar. Sehingga ditemukan adanya indikasi kebocoran senilai Rp 12,5 miliar," kata Yasril, Jumat (6/12/2013).
Ia menjelaskan, perhitungan tersebut diperoleh dari data jumlah IUP beserta luas wilayah izin yang dikeluarkan oleh 10 kabupaten dikali dengan tarif iuran tetap/dead rent/land rent yang harus dibayar berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam PP Nomor 9 tahun 2012 tentang penerimaan bukan pajak di sektor ESDM.
"IUP yang ada tersebut tersebar di Kabupaten Buton, Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara, Muna, Bombana, Buton Utara, dan Kota Baubau. Dua daerah tidak memiliki IUP adalah Kabupaten Wakatobi dan Kota Kendari," katanya.
Dijelaskan Yasril, potensi kebocoran lebih besar lagi diduga berasal dari pembayaran royalti yang dihitung berdasarkan jumlah produksi bahan tambang di Sultra. “Itu baru perhitungan dari land rent, belum ditambah lagi pembayaran royalti, sebagian besar hasil tambang berupa nikel, emas, aspal dan sebagian kecil kromit, mangan, serta oniks dan batu besi,” ujarnya.
Menyikapi kondisi tersebut, Lepmil dan Publish What You Pay Indonesia merekomendasikan pemerintah daerah membuka kepada publik data-data perusahaan yang belum membayar pajak dan PNPB pertambangan; menegakkan hukum atau menagih perusahaan yang belum bayar pajak; memberikan akses informasi kepada publik dan melakukan pengawasan atas kegiatan pertambangan.
Sementara data dari kantor Bea Cukai Kendari mencatat baru ada 36 eksportir. Namun, hanya 20 sampai 25 perusahaan yang aktif menggunakan surat perintah ekspor di kantor Bea Cukai, padahal di Sultra ada sekitar 500 izin usaha pertambangan (IUP).
Untuk diketahui, banyak perusahaan tambang di Sultra yang melakukan pengapalan dengan menggunakan pelabuhan yang dibangun sendiri, sehingga hasil produksi tidak tercatat secara resmi di kantor bea cukai.
Artikel : LePMIL
Workshop “Rencana Strategi dan Standar Operasional Procedural
Lembaga
Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pedalaman (LePMIL), (21/05/14) mengadakan Workshop “Rencana
Strategi dan Standar Operasional Procedural”. kegiatan ini berlansung selama
tiga hari, dengan harapan manajemen kelembagaan secara umum bisa terlaksana
sesuai garis organisasi yang normatif.
Hari pertama rabu (21/05/14),Kegiatan Workshop
diawali dengan perkenalan peserta dengan satu sama lain yang dipandu oleh Aliem
Nur, salah satu mantan direktur LePMIL periode sebelumnya.
Dalam workshop LePMIL ini bekerja sama dengan
Institut Penelitian Nusantara dalam hal ini diwakili oleh Jhon Watts, selain
itu dihadiri pula oleh beberapa lembaga mitra yang selama ini bekerja sama
dengan lepmil baik dari instansi pemerintah maupun dari kelompok tani yang ada
di kota kendari. Jhon Watts mewakili IPN menjadi salah satu pembica dalam
workshop ini yang focus pada bagaimana LSM itu bisa mendapatkan pendanaan
secara berkelanjutan dan mampu untuk survive dalam kondisi apapun.
Tak lupa pula salah satu dewan pendiri lepmil
Yani Taufik pula hadil dalam kegiatan ini, juga didaulat sebagai pembicara juga
mendampingi Jhon Tapper. Dalam kesempain itu Yani Taufik lebih menekankan
tentang historis awal mula perjuangan mereka dalam mendirikan lepmil beserta
dewan pendiri lainnya.
Hari kedua kamis (22/05/14) agenda workshop
LePMIL “rencana strategi dan standar operasional procedural” membahas tentang
fund rising LePMIL. Diskusi diawali oleh Alim Nur dengan memaparkan beberapa
usaha yang pernah dirintis oleh lepmil yakni ada tiga usaha antara lain
pemeliharaan kambing, foto kopi, dan penggilingan beras. Dalam pengelolaan
usaha yang dirintis oleh LePMIL ini melibatkan masyarakat, namun terkendala
dengan tidak adanya manajerial yang baik untuk mengelola fund rising secara
fokus.
Pada diskusi ini ada dua aspek yang difokuskan
untuk pengelolaan fund rising yang cocok untuk lepmil saat ini yaitu touris
center dan pengelolaan madu. Untuk madu, bisa menjadi sebagai sumber pendanaan
untuk lembaga, juga cepat dalam proses pengelolaannya, dan memiliki potensi
besar,karena melihat ada potensi besar disana. Untuk mendukung pengelolaan madu
yang berkelanjutan perlu membangun sector yang mendukung seperti membangun
koperasi.
Kemudian berikutnya yaitu touris center yang
juga berpotensi untuk menjadi fund rising LePMIL mengingat di Sultra ini banyak
lokasi wisata yang cukup menjanjikan untuk para touris. Namun untuk mengelola
touris center ini butuh waktu jangka panjang, perlu ada beberapa factor
pendukung untuk menjalakannya seperti alat publikasi seperti website agar para
pengunjung dengan muda mendapatkan informasi awal untuk berkunjung di lokasi
yang diinginkan.
Selain website yang perlu dikembangkan oleh
LePMIL adalah jaringan untuk mendukung perluasan informasi sepada calon
pengunjung. Kemudian untuk langkah awal harus ada percobaan terlebih dahulu
untuk proses promosi touris center ini.
Masuk hari ke tiga agenda Workshop LePMIL
jumat (23/05/14), diawali dengan review selama pertemuan dua hari sebelumnya.
Dari review itu setiap anggota LePMIL memaparkan tanggapannya atas point-pont
penting atas hasil diskusi sebelumnya.
Setiap point yang
menjadi masukan yang akan menjadi pertimbangan untuk didiskusikan pada
kesempatan berikutnya dalam hal ini disesuaikan dengan kondisi lepmil saat ini.
Menurut Aliem Nur “setiap
ide selama workshop ini perlu ada diskusi lanjutan untuk me-follow up guna
membangun nilai-nilai manfaat dari setiap masukan yang menjadi prioritas lepmil
saat ini”. Aliem juga menyinggung tentang “pengelolaan keuangan LePMIL”.
Menurut dia pengelolaan kuangan LePMIL sangat terbuka dengan anggota dan staff,
setiap pemasukan dan pengeluaran menjadi hak setiap anggota untuk
mengetahuinya. Kerena salah satu konflik utama dari sebuah lembaga adalah tidak
adanya transparansi pengelolaan keuangan. Contact Us
LEMBAGA PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR DAN PEDALAMAN (LePMIL) SULTRA
Click to Review Map
Jl. Bunga Wijaya Kusuma No. 4 Kelurahan Lahundape Kecamatan Kendari Kota Kendari – Sulawesi Tenggara
Telephone / Fax : 0401 3122344
e-mail : lepmil.sultra@gmail.com
lepmilsoutheastsulawesi@gmail.com
Click to Review Map
Jl. Bunga Wijaya Kusuma No. 4 Kelurahan Lahundape Kecamatan Kendari Kota Kendari – Sulawesi Tenggara
Telephone / Fax : 0401 3122344
e-mail : lepmil.sultra@gmail.com
lepmilsoutheastsulawesi@gmail.com
Profil LePMIL
LEMBAGA PENGEMBANGAN MASYARAKAT PESISIR
DAN PEDALAMAN
LePMIL – Lembaga Pengembangan Masyarakat
Pesisir dan Pedalaman didirikan pada tahun 1997 oleh pemerhati sosial dan
akademisi. Pendirian organisasi LePMIL dilatarbelakangi oleh keprihatinan dan
keinginan yang kuat untuk turut serta memberikan jalan keluar dari permasalahan
pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan daerah pedalaman Sulawesi
Tenggara, yang mana pada saat itu potensi sumberdaya alam dikelola secara
eksploitatif yang berdampak terhadap menurunnya daya dukung alam sebagai
penyanggah utama kehidupan manusia.
Pendirian LePMIL, juga didorong oleh
kepedulian atas suatu realitas sosial dimana masyarakat pesisir dan daerah
pedalaman merupakan wilayah komunitas yang tergolong paling rentan
termarginalkan terutama dalam mengakses hak-hak pendidikan, kesehatan, ekonomi
dan politik.
Oleh karenanya, sesuai dengan mandat
deklarasinya, LePMIL menjadi organisasi yang bersifat inisiator, mediator dan
fasilitator untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dan organisasi masyarakat
di wilayah pesisir dan daerah pedalaman melalui serangkaian penelitian,
pendidikan dan pelatihan. Sehingga masyarakat
dapat secara mandiri mengakses dan atau
mengontrol kebijakan pembangunan.
LePMIL juga memberikan perhatian pada
advokasi kebijakan pengelolaan sumber daya alam, advokasi hak hidup dan
lingkungan hidup yang bersih dan sehat, advokasi hak masyarakat adat, mitigasi
dan adaptasi terhadap perubahan iklim, serta advokasi untuk tata-kelola
pemerintahan yang demokratik.
VISI dan MISI
VISI
Terwujudnya kehidupan masyarakat wilayah pesisir dan daerah pedalaman yang sejahtera, berdaulat, mandiri dan demokratis serta menjunjung tinggi universal hak asasi manusia.
MISI
Berpijak dari visi tersebut maka di susun misi sebagai berikut:
1. Mendorong penguatan kapasitas masyarakat pesisir dan daerah pedalaman.
2. Mendukung usaha pengembangan dan penguatan fungsi kelembagaan
ekonomi masyarakat yang berwawasan lingkungan.
3. Mendukung upaya pengembangan dan penerapan kebijakan pembangunan
berkelanjutan.
4. Menciptakan budaya kerjasama antar lembaga dalam upaya
memberdayakan masyarakat pesisir dan daerah pedalaman.
Rawa Kehidupan
Pada tahun 2011 ketika dia masih peserta pemuda pembinaan Australia dan bekerja sebagai sukarelawan, anak saya Linda McRae mengunjungi desa Tapanggaya di Konawe Utara, Sulawesi. Dia sangat terkejut atas pengrusakan mata air, perikanan dan kesuburan tanah yang disebabkan oleh pertambangan.
Ketika mengunjungi desa-desa Linomoyo dan Bendewuta dia mendengar permohonan untuk pertambangan batu kapur dekat rawa Porara, tempat pencarian nafkah masyarakat. Linda tidak ingin apa yang terjadi di Tapanggaya, terjadi di rawa Poraya. Oleh karena itu, dia membuat film untuk menyadarkan kepentingan rawa Porara untuk kehidupan dan pencarian masyarakat sehari-hari.
Pada 27 Januari 2012, sebelum film diselesaikan Linda meninggal dunia dari tumor otak. Saya ke Indonesia di bulan Juni 2012 untuk mengunjungi tempat-tempat di mana Linda pernah, tinggal dan bertemu dengan orang-orang yang berteman dengan Linda. Juga untuk bertemu LSM LePMIL dan membantu mereka untuk menyelesaikan film Linda.
Filmnya berjudul Rawa Kehidupan sudah diselasaikan, sama seperti yang Linda inginkan. Itu tentang kehidupan para nelayan di rawa Porara dan kepentingan lingkungan untuk masyarakat. Linda ingin menunjukkan film ini kepada masyarakat jadi mereka sadar dan tidak menjual tanahnya kepada pertambangan atau penanaman kelapa sawit yang akan mengancam kerusakan rawa Porara.
Pada bulan agustus saya berkunjung ke Bendewuta dan Linomoyo dengan crew LePMIL untuk pengambilan gambar rawa kehidupan, oleh karna pembuatan film ini banyak diskusi tentang hal hal masa depan pendapatan perekonomian masyarakat. Bapak sumardin kepala desa Bendewuta, mengerti tentang perbedaan pendapatan dari pemeliharaan dan penjagaan lingkungan bekelanjuta daripada hasil penjualan tanah yang merusakan lingkungan. Oleh karena film yang di buat linda masyarakat mengerti tentang isu isu pengrusakan lingkungan. Saya percaya bahwa rawa Porara akan terlindungi oleh bimbingan kepala desa dan pemerintah setempat.
Film Rawa Kehidupan |
Setelah film di putar di kendari, nasihat dari penayangan film dan LSM adalah film tersebut seharusnya menceritakan tentang bagaimana pentingnya rawa, hutan dan pegunungan menyatu. Yasril, pimpinan LSM LePMIL, dan saya percaya bahwa film sudah berhasil seperti yang Linda inginkan, walaupun ada banyak kesempatan untuk lebih mendidik masyarakat. Dengan melakukan penelitian selanjutnya dan mengambil pengambaran lagi agar film itu bisa menjadi cerita tentang penjagaan lingkungan dan bisa digunakan sebagai program pemeliharaan lingkungan, regionaldan nasional, bahkan mungkin internasional. Jadi warisan Linda untuk LePMIL bisa menjadi itempenting untuk Indonesia dalam lingkungan dan juga mendorong kolaborasi antara LSM lokal.
800 dolar tetap dari total 4.000 dolar disumbangkan ke Linda McRae Dreaming, termasuk 500 dolar dari kemurahan hati majalah Taman Bumi. Kami telah menunggu uang lain yang dimiliki Linda di rekening bank Indonesianya di atas nama teman terpercaya. Sayangnya tampaknya kepercayaannya pada temannya itu tidak baik karena uang Linda tidak di kembalikan. Akhirnya saat ini kita tidak dapat menggantikan kamera film yang lama dan tidak dapat diandalkan LePMIL dengan model yang baru yang sesuai dengan komputer Apple baru dan software Final Cut yang dibeli oleh Austraining. Namun Yasril berencana untuk menulis proposal untuk memintah dana yang akan memastikan penelitian dan pembuatan film pada masa depan.
Walaupun Linda hanya ada 2 perjalanan ke Linomoyo dan Bendewuta dan tinggal 10 hari saja, dia membuat kesan yang sangat kuat bahwa dia memiliki banyak teman akrab, semuanya terkejut dan sedih mendengar kematian Linda yang tiba-tiba. Sumardin masih memiliki tongkat pengukur, yang digunakan oleh Linda dan kru LePMIL untuk mengukur tingkat air untuk proyek hidro potensial, yang Linda memintanya untuk menjaga sampai dia kembali.
Ekeng, sutradara film LePMIL, bertanya kepada teman Lina yang bernama Risa untuk membantu dengan film memorial Linda. Setelah melihat materi, Risa memilih "Another Day" dengan Dream Theater sebagai musik latar belakang untuk menginspirasi orang lain untuk memenuhi impian Linda. Kurangnya penerjemah telah menyebabkan keterlambatan dalam penyelesaian cerita ini.
Ekeng, sutradara film LePMIL, bertanya kepada teman Lina yang bernama Risa untuk membantu dengan film memorial Linda. Setelah melihat materi, Risa memilih "Another Day" dengan Dream Theater sebagai musik latar belakang untuk menginspirasi orang lain untuk memenuhi impian Linda. Kurangnya penerjemah telah menyebabkan keterlambatan dalam penyelesaian cerita ini.
Pemimpin Komunitas Bendewuta, Bapak Taufik, menantang saya untuk belajar Bahasa Indonesia jadi saya bisa kembali untuk berbicara dengan masyarakat. Saya harap saya bisa mencapai standar yang wajar dalam Bahasa sehingga saya bisa melakukan itu, juga untuk membantu staf LePMIL untuk belajar Bahasa Inggris dan mengembangkan potensi Rawa Kehidupan. Proyek lain yang penting bagi saya adalah memiliki tesis Linda, namanya “Resistance”, pertanyaan tentang pemerintahan dan pembangunan di Jawa Timur hutan kemasyarakatan (2009), tersedia dalam Bahasa Inggris dan Indonesia di website LePMIL itu.
Dengan cara ini saya bisa memastikan bahwa nama Linda tidak akan terlupakan di negara yang dia cintai.
Dengan cara ini saya bisa memastikan bahwa nama Linda tidak akan terlupakan di negara yang dia cintai.
Jo McRae.
Untuk menyumbang ke “Linda McRae Dana Bermimpin” telusurihhttp://www.heavenaddress.com
Semua sumbangan akan digunakan untuk kemanfaatan lingkungan di Sulawesi Tenggara.
Semua sumbangan akan digunakan untuk kemanfaatan lingkungan di Sulawesi Tenggara.
Terlampir Foto:
Linda di prahu dengan nelayan dan ikan
tangkapannya di Rawa Porara
film penutup Rawa Kehidupan
Rawa Porara dan tebing kapur
Artikel : LePMIL
Langganan:
Postingan (Atom)